Selasa, 17 Maret 2009

sarapu... sarapu...

Pagi ini saya mendengar ada yang berteriak “saraaapuuu… saararpuu…”, kurang familiar dengan suaranya, saya melongokkan kepala ke luar untuk melihat suara siapa di luar. Ternyata ada yang jualan sapu, tidak aneh memang, tapi satu yang menarik perhatian saya adalah orang yang menjual sapu itu seorang yang berumur masih sangat muda, mungkin masih seumur pacar saya yang sekitar 20-21 tahun. Yang biasanya dijual oleh laki-laki tua, atau malah anak-anak kecil. Satu lagi yang jadi perhatian saya, anak muda itu adalah anak muda yang berpakaian selayaknya anak muda yang senang bermain. Kaos hitam band luar, celana sontog gombrang khas anak-anak skater, kulit yang bersih, dan memakai sandal, satu lagi dia berjalan sambil memanggul puluhan sapu di pundaknya. Miris melihatnya, walaupun dia cuma lewat di depan rumah, tapi membuat saya berpikir banyak. Belum pernah saya melihat hal seperti itu, kebanyakan cowok seumur dia masih tinggi gengsi-nya, masih suka untuk bermain, berkumpul dengan temannya, kuliah, mabuk-mabukkan, pacaran, atau lainnya. Saya tidak tahu bagaimana kehidupannya yang sebenarnya, tapi setidaknya dia masih mau bangun pagi untuk menjajakan sapu-sapu itu keliling komplek, atau mungkin keliling kota. Disaat orang-orang seumuran dia masih leha-leha di rumah, sarapan dengan berbagai makanan enak atau bahkan masih tidur sisa dugem semalam, dia sudah berjalan jauh untuk menawarkan dagangannya ke rumah-rumah. Dipikir-pikir, apakah kita selalu beli sapu tiap hari, minggu, bulan? Tapi yang saya tahu, sapu di rumah saya mungkin sudah berumur satu tahun, makanya siapa yang mau beli sapu, kalo sapunya tidak hancur benar. Haah.. kalo sekarang aja, anak-anak muda di sekitar saya masih terbilang cukup beruntung, walaupun tidak semuanya, tapi kebanyakan masih bisa ditanggung oleh orang tuanya, tiap hari minta uang sama orang tua, ada pengeluaran dikit langsung laporan ke orang tua untuk minta diganti, bilang ke orangtua buat beli buku kuliah lah, buat biaya ngeprint, fotokopi, ongkos angkot kurang, atau apapun. Saya juga mengakui saya masih minta uang untuk ongkos kuliah, dan minta uang buku. Tapi kalo saya dikasih pilihan, mungkin saya ingin berhenti kuliah untuk konsen di kerjaan saya yang jelas-jelas menghasilkan uang. Tapi sekali lagi, apa gengsi saya sanggup untuk bias berjualan sapu keliling kota seperti anak muda itu?

2 komentar:

  1. waaaaahh
    boleh tuh boleh ca dijadiin feature. hehehe

    BalasHapus
  2. udah nggak pernah lewat lagi meniii.. huhuhuu

    BalasHapus