Selasa, 27 Mei 2014

Dion dan The Beatles


Aku HIV. Positif.

Lucu memang melihat raut wajah orang-orang saat aku memberi tahu statusku sebagai ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) kepadanya, apalagi jika orang tersebut belum pernah bertemu dengan ODHA sebelumnya. Ada yang memandangku dengan tatapan kasihan, sampai ada yang langsung melepaskan tanganku dari jabat tangan. Tentu saja hanya bisa kubalas dengan senyuman pahit.

Sehina itu kah aku?

Tahukah mereka tentang sejarah yang kumiliki hingga bisa menjadi ODHA? Apa yang telah kualami dan bagaimana aku menghadapinya? Tahukah mereka?

***
Pikiranku kembali ke 10 tahun yang lalu, saat aku masih memakai seragam putih-abu. Kenangan yang bisa membuatku tersenyum hingga hari ini. Menyukai teman sekelas itu hal yang biasa untuk anak sekolah sepertiku, seperti aku menyukai Dion, cowok lucu dan bisa membuatku tertawa hanya dengan lelucon kampungan tentang guru saat pelajaran.

Tidak hanya melontarkan lelucon (yang menurut teman-teman nggak lucu), Dion juga sering menculik perhatianku saat dia memegang gagang sapu dan bernyanyi Twist and Shout dengan aksen British yang dibuat-buat di depan kelas. Ya lagu The Beatles itu memang kesukaan dia. Kenapa? Sempat aku bertanya kepadanya. “Soalnya cuma lagu Bahasa Inggris itu yang aku hapal dan liriknya cuma diulang-ulang kok, hehe”. Duh, tawa yang renyah itu memang paling bisa membuat aku tersenyum.

Semenjak jatuh cinta dengan tawanya hari itu, mataku semakin tidak bisa melepaskan dari Dion. Rambutnya yang dipotong rapi, matanya yang cokelat ditambah pandangan yang tajam, bibirnya yang tipis memakai seragam yang selalu rapi dan wangi dengan jam tangan G-Shock hitam di pergelangan tangan kirinya. Dia kidal. Dia pandai memainkan gitar, dengan tangan kanannya. Aku suka saat dia tersenyum saat menyanyikan lagu kesukaannya dia, yang kali ini tidak hanya Twist and Shout tetapi bisa menyanyikan Jude, I Love Her, Help dan lainnya.

Aku yang memang menyukainya, berusaha menghapal lirik lagu The Beatles, hanya untuk sekedar bisa bernyanyi dengannya. Kaset kubeli dengan tabungan dari uang jajan sekolah. Ya, berpuasa tiap minggu hanya untuk membeli kaset The Beatles, agar bisa sekedar mencontek liriknya yang ada di cover kaset. Setiap minggu aku dan Dion sering bertemu di luar sekolah hanya untuk memainkan gitar dan bernyanyi The Beatles bersama.

Dan tanpa sadar aku menjadi seorang Beatlesmania, julukan yang Dion buat untuk dirinya sendiri. Bukan hanya memiliki semua album The Beatles, yang aku dan Dion cari di tukang loak, aku juga mulai mencari banyak informasi tentang mereka. Saat itu internet menjadi sesuatu yang sangat mahal dan informasi tentang The Beatles hanya bisa kudapatkan dari buku dan majalah hasil petualangan di pasar loak.

Di balkon rumahnya, Dion pernah bercerita tentang ambisinya ke Inggris untuk bertemu Paul McCartney, personil The Beatles yang paling dia sukai. “Kamu mau temani aku ke Inggris? Aku pengen ketemu Uncle Paul trus minta tanda tangan di gitar ini”, ujar dia serius diakhiri tawa renyahnya. Mimpi, jawabku. Dia tidak menggubris, hanya kembali memetik gitarnya mengalunkan lagu Here, There, Everywhere.

***
Saat aku dan Dion sedang menjalani ujian kelulusan SMA, orang tua Dion bercerai. Hatinya pasti hancur karena aku tidak melihatnya di sekolah hingga berminggu-minggu. Teleponnya mati. Ujian kelulusan-pun diabaikannya. Seminggu dari wisuda kelulusan aku melihat Dion dengen segerombolan orang yang lebih tua dan aku tahu bukan orang baik. Saat aku hampiri untuk menyapanya, dia hanya melihatku dengan tatapan kosong dan mengacuhkanku. 

Itukah Dion? Dion yang kurus kering, rambut gondrong dan memegang sebatang rokok. Bukan, itu psati bukan Dion. Bukan Dion dengan tawa renyah dan pandangan mata tajam yang bisa melelehkan aku. Bukan Dion-ku.

Seminggu kemudian aku beranikan diri untuk pergi ke rumahnya, disambut dengan pembantunya. Dari dulu orang tuanya memang jarang dirumah, menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dion di kamar, ujar pembantunya. Pintunya terbuka sedikit, kamarnya gelap, bau lembab tercium saat aku membuka pintu kamarnya sedikit. Aku melihat Dion, di pojok kamar, duduk di lantai dengan lutut menutupi wajahnya. “Siapa? Jangan masuk” sahutnya. Suaranya serak.

Ada jarum suntik menancap di tangan kanannya.

***
Semenjak kejadian itu, aku rutin mengunjungi Dion, hanya untuk memeluk dia saat sedang menggigil karena apa yang dia bilang sakau. Aku tahu Dion sedang tersesat, dia minta supaya aku duduk di sampingnya dan memeluknya erat. Semua yang kulakukan untuk membuatnya berhenti dari obat-obatan itu ditepisnya dengan bentakan. Bahkan dengan lagu-lagu The Beatles kesukaannya yang selalu aku putar saat di kamarnya.

“Aku butuh kamu disini, tapi bukan untuk nasehatin aku”, sahutnya lemah sambil memelukku. Dia memelukku semakin erat dan akhirnya mencium bibirku. Ciuman pertamaku.

Dan berakhir dengan malam pertamaku. Malam pertama kita.

Tak ada yang kusesali saat itu, aku memang mencintainya. Dion dengan senyumnya yang khas, pandangan matanya yang tajam, suaranya saat melantunkan lagu I Wanna Hold Your Hand. Dion yang aku cinta, untuk sesaat kembali lagi. Matanya yang tajam itu kembali. Akhirnya Dion berjanji untuk berhenti memakai obat-obatan, walaupun tidak bisa langsung dan tidak mudah. Dion meminta untuk menguncinya dalam kamar jika dia sakau. 

Butuh berhari-hari untuk menahan dia dari jarum suntik itu. Butuh berhari-hari mendengarnya berteriak sakit sambil menangis dan mohon untuk dikeluarkan dari kamar. Dion menggedor-gedor pintu kamarnya. Dion menangis. Aku menangis. Tuhan, sampai kapan Dion akan menderita?

Akhirnya Dion bisa mengatasi ketergantungannya, berangsur-angsur kesehatan Dion semakin membaik, karena rutin ke dokter untuk mendapatkan obat yang disebut methadone. 

Kami pun berpacaran. Hampir tiap malam Minggu Dion datang ke rumah membawa DVD dan cemilan kesukaan kita, Smax Ring. Dion suka berpura-pura memberikan Smax Ring menjadi cincin dan melingkarkannya di jari manisku. Lalu kita tertawa bersama saat tahu Smax Ring itu tidak muat di jari manisku. Dion berjanji akan membawaku ke London dan menikah di sana.



Dion mencoba memakaikan cincin 
dari Smax Ring


Kami kembali menjadi dua sejoli yang tergila-gila dengan The Beatles, kembali bertualang mencari kaset atau buku tentang John Lennon. Sampai akhirnya kita mendapatkan buku Travelling to London. Dengan senyum yang mengembang Dion membawanya ke kasir dan membayarnya. Dion kembali menjadi Dion yang dulu.

***
Dua tahun berlalu, Dion menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya sering drop. Aku antar Dion ke rumah sakit saat dia sudah tidak bisa makan. Tubuhnya kurus kering. Setelah melakukan tes darah dan lainnya, Dion dirawat. Agar bisa beristirahat, sahut dokter. Orang tuanya tidak ada yang datang, mungkin mereka belum tahu.

Besoknya suster datang saat Dion masih terlelap tidur. “Mbak, dipanggil dokter, hasil tes darah kemarin sudah keluar” katanya lirih.

Deg.

Kenapa tidak diberikan langsung saja sih, kenapa harus menghadap dokter? Ah mungkin untuk memberi tahu bahwa Dion baik-baik saja dan sudah boleh pulang, pikirku di perjalanan menuju ruangan dokter.

Amplop cokelat itu diberikan dokter padaku, disuruhnya aku duduk. Amplop itu aku buka dan aku melihat lembaran-lembaran kertas yang tidak aku mengerti. “Dion sehat kan, dok?”. Bapak berkacamata itu mengambil kertas-kertas yang ada di tanganku, melihatnya sekilas dan memberikan selembar kertas, “Dion terkena HIV”, sahut dokter.

Hah?

Kertas itu aku baca dan mataku langsung tertuju kepada tulisan HIV: Positif dengan ukuran font yang lebih besar dan lebih tebal. Astaga. Dion terkena HIV? HIV yang bisa bikin orang meninggal itu? Dari mana orang dengan senyum manis seperti Dion bisa terkena HIV? Bukannya selama ini Dion tidak mempunyai teman bercinta selain aku? Apa mungkin karena ketergantungan dia dengan jarum sunti? Apa Dion dulu selalu berbagi jarum suntik dengan temannya? Apa mungkin dia terkena HIV dari gigitan nyamuk? Sial. Semua ini benar-benar nggak masuk akal. Tunggu. Jika Dion HIV, mungkinkah aku juga terkena virus yang sama?

Dengan langkah gontai aku tinggalkan dokter menuju ruangan Dion. Kekasihku itu masih tidur, sempat kulihat dia tersenyum di lelapnya. Aku duduk di sampingnya, tertunduk, menggenggam tangannya. Tangan kurusnya yang tertusuk jarum infus, kucium. Dion HIV? Hal ini masih belum bisa kucerna. Tanpa disadari mataku menjadi panas dan siap untuk meleleh. Ya, aku menangis sambil mencium tangannya.

Sejak saat itu Dion tidak sadarkan diri, kondisinya sangat lemah. Cuma infus yang bisa masuk ke dalam tubuhnya. Dokter bilang, Dion telat untuk mendapatkan penanganan lebih awal. Bukan argument yang dapat kumenangkan, karena aku dan Dion memang tidak tahu bahwa ada HIV di tubuhnya. Setiap hari kupandangi wajahnya yang damai, aku yakin dia sedang mimpi indah. Setiap hari juga aku putarkan lagu The Beatles kesukaan kita, Across The Universe

Kadang tangannya yang sedang kupegang itu bergerak, menggenggam erat tanganku. Kadang air matanya menetes. Kadang bibirnya naik membentuk senyuman khasnya. Senyum yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Ah, senyum ini yang selalu terekam di memoriku. Senyum yang sama.

***
Seminggu setelah tidak sadarkan diri, Dion akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Dion pergi.  
Dion pergi membawa semua jawaban dari pertanyaanku.

***
Sekarang aku disini. Berada di LSM yang menaungi ODHA bernama Rumah Cemara. Aku menjadi seorang pendamping HIV/AIDS.

Ya, aku ODHA.

Tertular dari hubunganku dengan Dion. Apakah aku menyesal?  Tidak pernah ada penyesalan yang bersarang di hatiku.

Aku hanya ingin menjalani hidup dengan damai. Aku ingin melanjutkan impian Dion. Impian bocah 15 tahun yang ingin pergi ke London untuk bertemu Paul. Walaupun sekarang aku dianggap sampah masyarakat dan dibuang oleh keluarga. Impian untuk pergi ke Inggris masih mendorong aku untuk bisa bertahan hidup hingga sekarang. Aku berolah raga rutin setiap minggu, meminum obat sehari dua kali, mengubah pola hidup dan menjadi pendamping bagi ODHA lainnya. Semuanya aku lakukan untuk bertahan hidup dan menggantung harapan Dion untuk ke Inggris. 

Semata-mata aku hidup hanya untuk melanjutkan impian Dion, impian orang yang aku cinta.

***

Dion..
Aku yakin kamu lihat aku dari sana. 
Jangan alihin pandangan kamu dari aku ya. 
Karena aku bakal bikin impian kamu jadi kenyataan. 
Aku bakal ke Inggris. 
Aku bakal minta tanda tangan Uncle Paul untuk kamu. 
Aku bakal bilang ke Uncle Paul kalo kamu fans terberatnya. 
Aku bakal ke Abbey Road buat foto ala cover album The Beatles. 
Kamu disana jangan iri ya. 
Nanti kalo aku ke London Eye, aku bakal bawa Smax Ring 
dan bakal aku pakai di jari manis aku untuk mengingat janji kita.
Kamu tahu aku selalu sayang kamu..





Minggu, 20 April 2014

Lamaran DONE!


Tanggal 1 Juni 2013 akhirnya kita melangsungkan lamaran juga. Ini Beno, calon suami.
Akk akhirnya kalo ngenalin dia ke temen bukan pacar lagi. (eh)

Lamaran yang penuh drama, tawa dan air mata. ea lebay.

Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar, cuma pas nungguin rombongan beno dateng aja yang bikin deg-degan setengah mati. Masalahnya rumah aku tuh agak di pinggir kota dikit gitu (padahal jauh) jadi takut ada kenapa-napa di jalan.

Lamaran ini baru awal dari segalanya, dari segalanya sodara-sodara. Nggak kehitung deh berapa kali kita mutusin buat break dan batalin rencana nikah. Tapi untung calon suami aku (ea) orangnya sabar (pih padahal nggak) yang pastinya orangnya pesuasif banget, pinter banget ngomong buat ngeluluhin hati aku (jijik banget rasanya manggil diri sendiri aku, hmm akua kali)

Melihat calon istrinya adalah seorang gemini yang apa-apa tuh tergantung sama mood dan nggak punya pendirian (ok, I admit it) si beno punya triknya sendiri. Walaupun kadang-kadang dilakuin kadang-kadang nggak.  hahahaha jeleknya dia adalah kurang peka Ya Allah... Kalo liat calon istrinya nangis malah dibentak-bentak suruh berhenti, orang mah dipeluk ya biar berhenti (eh iya nggak sih? nggak juga ya)

Pokoknya gitu deh..
See u at 31 Agustus 2014 ^^