Aku
HIV. Positif.
Lucu
memang melihat raut wajah orang-orang saat aku memberi tahu statusku sebagai
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) kepadanya, apalagi jika orang tersebut belum
pernah bertemu dengan ODHA sebelumnya. Ada yang memandangku dengan tatapan
kasihan, sampai ada yang langsung melepaskan tanganku dari jabat tangan. Tentu
saja hanya bisa kubalas dengan senyuman pahit.
Sehina
itu kah aku?
Tahukah
mereka tentang sejarah yang kumiliki hingga bisa menjadi ODHA? Apa yang telah kualami
dan bagaimana aku menghadapinya? Tahukah mereka?
***
Pikiranku
kembali ke 10 tahun yang lalu, saat aku masih memakai seragam putih-abu.
Kenangan yang bisa membuatku tersenyum hingga hari ini. Menyukai teman sekelas itu
hal yang biasa untuk anak sekolah sepertiku, seperti aku menyukai Dion, cowok
lucu dan bisa membuatku tertawa hanya dengan lelucon kampungan tentang guru
saat pelajaran.
Tidak
hanya melontarkan lelucon (yang menurut teman-teman nggak lucu), Dion juga
sering menculik perhatianku saat dia memegang gagang sapu dan bernyanyi Twist and Shout dengan aksen British yang dibuat-buat di depan kelas.
Ya lagu The Beatles itu memang kesukaan dia. Kenapa? Sempat aku bertanya
kepadanya. “Soalnya cuma lagu Bahasa Inggris itu yang aku hapal dan liriknya cuma
diulang-ulang kok, hehe”. Duh, tawa yang renyah itu memang paling bisa membuat
aku tersenyum.
Semenjak
jatuh cinta dengan tawanya hari itu, mataku semakin tidak bisa melepaskan dari
Dion. Rambutnya yang dipotong rapi, matanya yang cokelat ditambah pandangan
yang tajam, bibirnya yang tipis memakai seragam yang selalu rapi dan wangi
dengan jam tangan G-Shock hitam di pergelangan tangan kirinya. Dia kidal. Dia
pandai memainkan gitar, dengan tangan kanannya. Aku suka saat dia tersenyum
saat menyanyikan lagu kesukaannya dia, yang kali ini tidak hanya Twist and Shout tetapi bisa menyanyikan Jude, I Love Her, Help dan lainnya.
Aku
yang memang menyukainya, berusaha menghapal lirik lagu The Beatles, hanya untuk
sekedar bisa bernyanyi dengannya. Kaset kubeli dengan tabungan dari uang jajan
sekolah. Ya, berpuasa tiap minggu hanya untuk membeli kaset The Beatles, agar
bisa sekedar mencontek liriknya yang ada di cover kaset. Setiap minggu aku dan
Dion sering bertemu di luar sekolah hanya untuk memainkan gitar dan bernyanyi
The Beatles bersama.
Dan
tanpa sadar aku menjadi seorang Beatlesmania, julukan yang Dion buat untuk dirinya sendiri. Bukan hanya memiliki semua album
The Beatles, yang aku dan Dion cari di tukang loak, aku juga mulai mencari
banyak informasi tentang mereka. Saat itu internet menjadi sesuatu yang sangat
mahal dan informasi tentang The Beatles hanya bisa kudapatkan dari buku dan
majalah hasil petualangan di pasar loak.
Di
balkon rumahnya, Dion pernah bercerita tentang ambisinya ke Inggris untuk
bertemu Paul McCartney, personil The Beatles yang paling dia sukai. “Kamu mau temani
aku ke Inggris? Aku pengen ketemu Uncle Paul trus minta tanda tangan di gitar ini”,
ujar dia serius diakhiri tawa renyahnya. Mimpi, jawabku. Dia tidak menggubris,
hanya kembali memetik gitarnya mengalunkan lagu Here, There, Everywhere.
***
Saat
aku dan Dion sedang menjalani ujian kelulusan SMA, orang tua Dion bercerai.
Hatinya pasti hancur karena aku tidak melihatnya di sekolah hingga
berminggu-minggu. Teleponnya mati. Ujian kelulusan-pun diabaikannya. Seminggu
dari wisuda kelulusan aku melihat Dion dengen segerombolan orang yang lebih tua
dan aku tahu bukan orang baik. Saat aku hampiri untuk menyapanya, dia hanya
melihatku dengan tatapan kosong dan mengacuhkanku.
Itukah Dion? Dion yang kurus
kering, rambut gondrong dan memegang sebatang rokok. Bukan, itu psati bukan
Dion. Bukan Dion dengan tawa renyah dan pandangan mata tajam yang bisa
melelehkan aku. Bukan Dion-ku.
Seminggu
kemudian aku beranikan diri untuk pergi ke rumahnya, disambut dengan
pembantunya. Dari dulu orang tuanya memang jarang dirumah, menyibukkan diri
dengan pekerjaannya. Dion di kamar, ujar pembantunya. Pintunya terbuka sedikit,
kamarnya gelap, bau lembab tercium saat aku membuka pintu kamarnya sedikit. Aku
melihat Dion, di pojok kamar, duduk di lantai dengan lutut menutupi wajahnya. “Siapa?
Jangan masuk” sahutnya. Suaranya serak.
Ada
jarum suntik menancap di tangan kanannya.
***
Semenjak
kejadian itu, aku rutin mengunjungi Dion, hanya untuk memeluk dia saat sedang
menggigil karena apa yang dia bilang sakau. Aku tahu Dion sedang tersesat, dia
minta supaya aku duduk di sampingnya dan memeluknya erat. Semua yang kulakukan
untuk membuatnya berhenti dari obat-obatan itu ditepisnya dengan bentakan.
Bahkan dengan lagu-lagu The Beatles kesukaannya yang selalu aku putar saat di kamarnya.
“Aku
butuh kamu disini, tapi bukan untuk nasehatin aku”, sahutnya lemah sambil
memelukku. Dia memelukku semakin erat dan akhirnya mencium bibirku. Ciuman
pertamaku.
Dan
berakhir dengan malam pertamaku. Malam pertama kita.
Tak
ada yang kusesali saat itu, aku memang mencintainya. Dion dengan senyumnya yang
khas, pandangan matanya yang tajam, suaranya saat melantunkan lagu I Wanna Hold Your Hand. Dion yang aku
cinta, untuk sesaat kembali lagi. Matanya yang tajam itu kembali. Akhirnya Dion
berjanji untuk berhenti memakai obat-obatan, walaupun tidak bisa langsung dan
tidak mudah. Dion meminta untuk menguncinya dalam kamar jika dia sakau.
Butuh
berhari-hari untuk menahan dia dari jarum suntik itu. Butuh berhari-hari
mendengarnya berteriak sakit sambil menangis dan mohon untuk dikeluarkan dari
kamar. Dion menggedor-gedor pintu kamarnya. Dion menangis. Aku menangis. Tuhan,
sampai kapan Dion akan menderita?
Akhirnya
Dion bisa mengatasi ketergantungannya, berangsur-angsur kesehatan Dion semakin membaik, karena rutin ke
dokter untuk mendapatkan obat yang disebut methadone.
Kami pun berpacaran.
Hampir tiap malam Minggu Dion datang ke rumah membawa DVD dan cemilan kesukaan
kita, Smax Ring. Dion suka berpura-pura memberikan Smax Ring menjadi cincin dan
melingkarkannya di jari manisku. Lalu kita tertawa bersama saat tahu Smax Ring
itu tidak muat di jari manisku. Dion berjanji akan membawaku ke London dan
menikah di sana.
Dion mencoba memakaikan cincin
dari Smax Ring
Kami
kembali menjadi dua sejoli yang tergila-gila dengan The Beatles, kembali bertualang
mencari kaset atau buku tentang John Lennon. Sampai akhirnya kita mendapatkan
buku Travelling to London. Dengan
senyum yang mengembang Dion membawanya ke kasir dan membayarnya. Dion kembali
menjadi Dion yang dulu.
***
Dua
tahun berlalu, Dion menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya sering drop. Aku antar Dion
ke rumah sakit saat dia sudah tidak bisa makan. Tubuhnya kurus kering. Setelah
melakukan tes darah dan lainnya, Dion dirawat. Agar bisa beristirahat, sahut
dokter. Orang tuanya tidak ada yang datang, mungkin mereka belum tahu.
Besoknya
suster datang saat Dion masih terlelap tidur. “Mbak, dipanggil dokter, hasil
tes darah kemarin sudah keluar” katanya lirih.
Deg.
Kenapa
tidak diberikan langsung saja sih, kenapa harus menghadap dokter? Ah mungkin
untuk memberi tahu bahwa Dion baik-baik saja dan sudah boleh pulang, pikirku di
perjalanan menuju ruangan dokter.
Amplop
cokelat itu diberikan dokter padaku, disuruhnya aku duduk. Amplop itu aku buka
dan aku melihat lembaran-lembaran kertas yang tidak aku mengerti. “Dion sehat
kan, dok?”. Bapak berkacamata itu mengambil kertas-kertas yang ada di tanganku,
melihatnya sekilas dan memberikan selembar kertas, “Dion terkena HIV”, sahut
dokter.
Hah?
Kertas
itu aku baca dan mataku langsung tertuju kepada tulisan HIV: Positif dengan ukuran font yang lebih besar dan lebih tebal.
Astaga. Dion terkena HIV? HIV yang bisa bikin orang meninggal itu? Dari mana
orang dengan senyum manis seperti Dion bisa terkena HIV? Bukannya selama ini
Dion tidak mempunyai teman bercinta selain aku? Apa mungkin karena
ketergantungan dia dengan jarum sunti? Apa Dion dulu selalu berbagi jarum
suntik dengan temannya? Apa mungkin dia terkena HIV dari gigitan nyamuk? Sial.
Semua ini benar-benar nggak masuk akal. Tunggu. Jika Dion HIV, mungkinkah aku
juga terkena virus yang sama?
Dengan
langkah gontai aku tinggalkan dokter menuju ruangan Dion. Kekasihku itu masih
tidur, sempat kulihat dia tersenyum di lelapnya. Aku duduk di sampingnya,
tertunduk, menggenggam tangannya. Tangan kurusnya yang tertusuk jarum infus,
kucium. Dion HIV? Hal ini masih belum bisa kucerna. Tanpa disadari mataku
menjadi panas dan siap untuk meleleh. Ya, aku menangis sambil mencium tangannya.
Sejak
saat itu Dion tidak sadarkan diri, kondisinya sangat lemah. Cuma infus yang
bisa masuk ke dalam tubuhnya. Dokter bilang, Dion telat untuk mendapatkan
penanganan lebih awal. Bukan argument yang dapat kumenangkan, karena aku dan
Dion memang tidak tahu bahwa ada HIV di tubuhnya. Setiap hari kupandangi
wajahnya yang damai, aku yakin dia sedang mimpi indah. Setiap hari juga aku
putarkan lagu The Beatles kesukaan kita, Across
The Universe.
Kadang tangannya yang sedang kupegang itu bergerak,
menggenggam erat tanganku. Kadang air matanya menetes. Kadang bibirnya naik
membentuk senyuman khasnya. Senyum yang membuatku jatuh cinta untuk pertama
kalinya. Ah, senyum ini yang selalu terekam di memoriku. Senyum yang sama.
***
Seminggu
setelah tidak sadarkan diri, Dion akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Dion
pergi.
Dion
pergi membawa semua jawaban dari pertanyaanku.
***
Sekarang
aku disini. Berada di LSM yang menaungi ODHA bernama Rumah Cemara. Aku menjadi
seorang pendamping HIV/AIDS.
Ya,
aku ODHA.
Tertular
dari hubunganku dengan Dion. Apakah aku menyesal? Tidak pernah ada penyesalan yang bersarang di
hatiku.
Aku
hanya ingin menjalani hidup dengan damai. Aku ingin melanjutkan impian Dion.
Impian bocah 15 tahun yang ingin pergi ke London untuk bertemu Paul. Walaupun
sekarang aku dianggap sampah masyarakat dan dibuang oleh keluarga. Impian untuk
pergi ke Inggris masih mendorong aku untuk bisa bertahan hidup hingga sekarang.
Aku berolah raga rutin setiap minggu, meminum obat sehari dua kali, mengubah pola
hidup dan menjadi pendamping bagi ODHA lainnya. Semuanya aku lakukan untuk
bertahan hidup dan menggantung harapan Dion untuk ke Inggris.
Semata-mata aku
hidup hanya untuk melanjutkan impian Dion, impian orang yang aku cinta.
***
Dion..
Aku
yakin kamu lihat aku dari sana.
Jangan alihin pandangan kamu dari aku ya.
Karena aku bakal bikin impian kamu jadi kenyataan.
Aku bakal ke Inggris.
Aku
bakal minta tanda tangan Uncle Paul untuk kamu.
Aku bakal bilang ke Uncle Paul kalo kamu
fans terberatnya.
Aku bakal ke Abbey Road
buat foto ala cover album The Beatles.
Kamu disana jangan iri ya.
Nanti kalo
aku ke London Eye, aku bakal bawa
Smax Ring
dan bakal aku pakai di jari manis aku untuk mengingat janji kita.
Kamu
tahu aku selalu sayang kamu..